Friday, February 24, 2012

Cinta 'Ali dan Fathimah

Ada rahsia dalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun.
namun Allah SWT tahu apa yang tersembunyi dan tersirat.
dan yang tersembunyi itu adalah
Fathimah 

Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, 
sungguh memesonanya. 
Kesantunannya, ibadahnya, kecekapan kerjanya, parasnya. 

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut CINTA

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar khabar yang mengejutkan. 

Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Nabi. 
 Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; 
Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”,
 begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. 

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. 
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, 
aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”


Cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. 
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.


Beberapa waktu berlalu, 
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas 
harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. 

Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. 

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. 

Setelah Abu Bakr mundur,
 datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, 
’Umar ibn Al Khaththab.
 Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. 


Ali sedar. 

Dan ’Ali redha.


Cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian. 
Atau mempersilakan. 
Yang ini pengorbanan. 

Maka ’Ali bingung ketika khabar itu didengarinya.
 Lamaran ’Umar juga ditolak.

”Mengapa bukan engkau yang mencuba kawan?”, 
kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. 
”Mengapa engkau tak mencuba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!” 
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandaikan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, 
disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. 
Ya, menikahi.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”
begitu nuraninya mengingatkan. 
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
 Pemuda yang yakin bahawa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” 
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Nabi.
Dan ia pun bingung. 
Apa maksudnya?

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” 
”Entahlah..” 
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ bermakna sebuah jawapan!”.
   Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya.
 Sahlan juga. 
Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! 
Dua-duanya berarti ya!

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. 
Dengan menggadaikan baju besinya. 
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. 
Dengan keberanian untuk menikah. 
Sekarang. 
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. 
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. 
Seperti ’Ali. 
Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. 
Yang pertama adalah pengorbanan. 
Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Puteri Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari 
(setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, 
“Maafkan aku, kerana sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
 ‘Ali terkejut dan berkata, 
“kalau begitu mengapa engkau mahu berkahwin denganku? dan Siapakah pemuda itu? ”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, 
“Ya, kerana pemuda itu adalah Dirimu”



Kemudian Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah kahwinkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).




----------------------------------------------------------------
SEMOGA ALLAH SWT MEMPERTEMUKAN KITA 
DENGAN JODOH YANG BAIK 
AMIN :)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...